Gadis itu terlihat tengah asik membaca sebuah tabloid. Tiba-tiba keningnya mengkerut. "
Papa.. ternyata biaya pernikahan itu mahal ya!", tanya gadis itu kepada ayahnya yang tengah sibuk memasak. Ayahnya hanya mengangguk sambil tersenyum meneruskan aktifitasnya. "
Dengan penghasilanku seperti sekarang ini, kapan aku baru bisa menikah?!", gumam gadis itu menampakkan raut muka kesedihan. Yah, ini adalah potongan dialog dalam sebuah film dorama
Hanayome to Papa. Ada sebuah rasa kegalauan dari gadis itu yang menarik untuk ditelaah.
Memang mereka bukan muslim seperti kita. Budaya merekapun (
orang Jepang) tentu berbeda dengan budaya kita. Namun kegalauan yang dialami oleh gadis tadi, ternyata sering juga menghiasi pikiran-pikiran liar kita. Pikiran yang akhirnya membuat batasannya sendiri antara kondisi kita menuju gerbang pernikahan.
4 Tahun yang lalu, ada seorang kawan yang iseng menanyakan keberanian (
kalau tak mau dibilang ke-nekad-an) saya memutuskan untuk menikah. Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini masih tersimpan baik di memori. "
Kamu sudah punya rumah fin?". Saat itu memang saya belum memiliki rumah sendiri. Malah saya masih tinggal nge-kost. Tapi saat itu, ada satu hal yang tidak dimiliki oleh orang yang sudah memiliki rumah sekalipun. Yah, saya memiliki
keberanian. Keberanian untuk menikah untuk menjaga kehormatan saya dan membuat saya lebih tentram.
Kondisi perekonomian saya saat itu bisa dibilang belum mapan. Tapi saya yakin, yang memberi rejeki untuk saya bukanlah bos saya di kantor. Bukan pula perusahaan tempat saya bekerja. Yang memberikan rejeki kepada saya adalah penggenggam jiwa ini, Allah Rabbul Izzati.
Kini banyak orang tua yang mensyaratkan hal-hal yang berbau kemapanan harta kepada calon menantu. Sebuah syarat yang tidak dicontohkan oleh baginda Nabi. Beliau hanya mensyaratkan 'mampu', dan istilah 'mampu' ini belum tentu masalah harta. Kalau tidak mampu, maka berpuasalah. Ketika itu saya sudah bekerja, laki-laki sangat normal, maka itu sudah cukup membuat saya yakin dan berani untuk memikul sebuah pernjanjian yang berat (
Mitsaqan Ghaliza). Kenapa harus direpotkan dengan masalah rumah, harta, mobil, dan biaya pernikahan yang mahal?
Jadi ingat dengan analogi seorang kawan di blognya yang mengatakan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan itu halal hanya masalah beberapa menit saja kok. Si wali perempuan mengatakan,
saya nikahkan putri saya .. dan pihak laki-laki mengatakan,
saya terima nikahnya .... Ada saksi, mahar, dan mengundang beberapa tetangga. Jadi mudah dan tak harus mahal. Kitalah yang seringkali mempersulitnya dan membuatnya mahal.
Beberapa waktu yang lalu berbincang ringan dengan istri, kalaupun nanti Hanan (
putri saya) menginjak remaja dan sudah siap menikah, dan ada laki-laki yang baik (
dalam hal agama) dan kami ridho dengan itu. Maka kenapa tidak kami nikahkan saja ^_^. Selalu terkenang dan terpatri dalam hati ini, jika seorang perempuan remaja berbuat dosa dengan lawan jenisnya, maka dosanya akan dipikul oleh ayahnya karena tak segera menikahkannya T_T.
Sungguh berat menjadi seorang ayah, karena saya harus menanggung dosa saya sendiri, dosa istri saya, dan dosa anak perempuan saya yang belum menikah. Jadi wahai pemuda yang sudah 'mampu', jangan lagi bilang 'aku tak berani menikah!'. ^_^.
powered by :
 |
Toko Buku Hanan
|
|
|