Selamat datang di gubug Inspirasi Coffee. Blog ini dikelola oleh penulis sejak September 2008. Sampai sekarang, api semangat menulis masih menyala terang, menarikan pena melukiskan cerita kehidupan. Hak cipta dilindungi oleh Allah Azza wa Jalla.
Selamat Membaca ^_^
Tampilkan postingan dengan label akhlak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label akhlak. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 November 2012

8 Pentingnya Mempersiapkan Pendidikan Anak

Memasuki babak baru kehidupan saya, perlu sebuah pemikiran yang matang dan komprehensif untuk menyongsongnya. Sebagai orang tua, anak adalah investasi yang luar biasa. Tak hanya di dunia, tapi juga di akherat kelak. Sebagai investasi, maka perlu persiapan yang sempurna untuk membentuk kepribadian rabbani kepada anak kita. Pendidikan seperti apa yang ingin kita berikan kepada anak kita, tergantung dari kemauan kita sebagai orang tua. Ingin cenderung ke duniawi saja, akherat saja, atau seimbang antara keduanya.

Beberapa waktu yang lalu sempat berdiskusi dalam sebuah forum di FB, bagaimana gilanya sistem pendidikan yang disematkan kepada anak-anak didik kita sekarang ini. Mereka dijejali begitu banyak les tambahan dan kesemuanya ditekankan pada sisi intelektualitas saja. Cerdas secara akalnya saja. Sedangkan secara ruhiyah, mereka minim. Maka kita bisa lihat, mereka menjadi mudah galau dan kosong. Ketika kosong, maka akan mudah dijejali dengan hal-hal yang negatif. Pendidikan iman dan Islam kurang merasuk, karena memang hanya diberikan 2 jam pelajaran saja dalam seminggu. Itu mungkin salah satu sebab kenapa pelajar saat ini mudah sekali terprovokasi untuk tawuran. Salah satunya karena pondasi iman yang kurang tertancap di dalam hati.

pendidikan anak islami


Saya adalah produk dari sekolah yang hanya serius menanamkan sisi intelektualitas saja. Sangat sulit untuk menghafalkan Al Quran jika pondasi iman kita tidak mantab. Memegang Al Quran beberapa menit saja, terasa berat karena tidak dilatih sejak dini. Berbeda dengan mereka yang sudah terlatik sejak kecil dengan lingkungan yang mendukung. Lingkungan tempat kita bernaung sangat mempengaruhi kebiasaan kita. Sebenarnya bukan masalah bersekolah di sekolah umum atau khusus, tetapi lebih kepada lingkungan seperti apa yang ingin dibentuk. Kita mungkin bisa menerka, kenapa lingkungan kampus teknik (LDK) ada yang lebih 'islami' dari lingkungan kampus universitas Islam. Lingkunganlah yang membentuk mereka, bukan hanya label nama saja.

Beberapa waktu yang lalu, saya melihat melihat profil sekolah yang didirikan oleh Ust Budi Ashari dan Ust Muhaimin Iqbal (gerai dinar) di situs youtube. Bisa dilihat profilnya disini : Kuttab Al Fatih. Ah, ingin sekali menyekolahkan putri saya Hanan di tipe sekolah seperti ini. Pendidikan yang serius menancapkan pondasi iman yang kuat sejak dini. Pendidikan yang melahirkan generasi rabbani, insyaAllah. Bismillah.


powered by :
Toko Buku Hanan

Kamis, 25 Oktober 2012

14 Aku Tak Berani Menikah!

Gadis itu terlihat tengah asik membaca sebuah tabloid. Tiba-tiba keningnya mengkerut. "Papa.. ternyata biaya pernikahan itu mahal ya!", tanya gadis itu kepada ayahnya yang tengah sibuk memasak. Ayahnya hanya mengangguk sambil tersenyum meneruskan aktifitasnya. "Dengan penghasilanku seperti sekarang ini, kapan aku baru bisa menikah?!", gumam gadis itu menampakkan raut muka kesedihan. Yah, ini adalah potongan dialog dalam sebuah film dorama Hanayome to Papa. Ada sebuah rasa kegalauan dari gadis itu yang menarik untuk ditelaah.

Memang mereka bukan muslim seperti kita. Budaya merekapun (orang Jepang) tentu berbeda dengan budaya kita. Namun kegalauan yang dialami oleh gadis tadi, ternyata sering juga menghiasi pikiran-pikiran liar kita. Pikiran yang akhirnya membuat batasannya sendiri antara kondisi kita menuju gerbang pernikahan.

4 Tahun yang lalu, ada seorang kawan yang iseng menanyakan keberanian (kalau tak mau dibilang ke-nekad-an) saya memutuskan untuk menikah. Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini masih tersimpan baik di memori. "Kamu sudah punya rumah fin?". Saat itu memang saya belum memiliki rumah sendiri. Malah saya masih tinggal nge-kost. Tapi saat itu, ada satu hal yang tidak dimiliki oleh orang yang sudah memiliki rumah sekalipun. Yah, saya memiliki keberanian. Keberanian untuk menikah untuk menjaga kehormatan saya dan membuat saya lebih tentram.

aku berani menikah


Kondisi perekonomian saya saat itu bisa dibilang belum mapan. Tapi saya yakin, yang memberi rejeki untuk saya bukanlah bos saya di kantor. Bukan pula perusahaan tempat saya bekerja. Yang memberikan rejeki kepada saya adalah penggenggam jiwa ini, Allah Rabbul Izzati.

Kini banyak orang tua yang mensyaratkan hal-hal yang berbau kemapanan harta kepada calon menantu. Sebuah syarat yang tidak dicontohkan oleh baginda Nabi. Beliau hanya mensyaratkan 'mampu', dan istilah 'mampu' ini belum tentu masalah harta. Kalau tidak mampu, maka berpuasalah. Ketika itu saya sudah bekerja, laki-laki sangat normal, maka itu sudah cukup membuat saya yakin dan berani untuk memikul sebuah pernjanjian yang berat (Mitsaqan Ghaliza). Kenapa harus direpotkan dengan masalah rumah, harta, mobil, dan biaya pernikahan yang mahal?

Jadi ingat dengan analogi seorang kawan di blognya yang mengatakan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan itu halal hanya masalah beberapa menit saja kok. Si wali perempuan mengatakan, saya nikahkan putri saya .. dan pihak laki-laki mengatakan, saya terima nikahnya .... Ada saksi, mahar, dan mengundang beberapa tetangga. Jadi mudah dan tak harus mahal. Kitalah yang seringkali mempersulitnya dan membuatnya mahal.

Beberapa waktu yang lalu berbincang ringan dengan istri, kalaupun nanti Hanan (putri saya) menginjak remaja dan sudah siap menikah, dan ada laki-laki yang baik (dalam hal agama) dan kami ridho dengan itu. Maka kenapa tidak kami nikahkan saja ^_^. Selalu terkenang dan terpatri dalam hati ini, jika seorang perempuan remaja berbuat dosa dengan lawan jenisnya, maka dosanya akan dipikul oleh ayahnya karena tak segera menikahkannya T_T.

Sungguh berat menjadi seorang ayah, karena saya harus menanggung dosa saya sendiri, dosa istri saya, dan dosa anak perempuan saya yang belum menikah. Jadi wahai pemuda yang sudah 'mampu', jangan lagi bilang 'aku tak berani menikah!'. ^_^.

powered by :
Toko Buku Hanan

Senin, 22 Oktober 2012

7 Tarbiyatul Aulad fil Islam

Mungkin aku telat membeli buku ini. Judul bukunya : Pendidikan Anak Dalam Islam (Tarbiyatul Aulad fil Islam). Sebuah karya dari Dr Abdullah Nashih Ulwan. Sebuah buku yang sangat bermanfaat, tapi aku telat menyadarinya. Ah, bukankah lebih baik telat daripada tidak sama sekali?. Sebenarnya sudah lama aku mengincar buku ini. Alhamdulillah kemarin ada sedikit waktu dan rejeki untuk membeli buku ini. Buku yang sangat cocok bagi pasangan muda yang baru menikah. Lebih cocok lagi ketika sebagai mahar dalam pernikahan. Karena pembahasan buku ini dimulai sebelum anak tersebut lahir. Bahkan mungkin bisa sebelum itu, yakni dalam memilih pasangan. Okelah untuk hal ini, aku setuju dengan jargon : lebih cepat lebih baik.

Buku ini ada 2 seri yaitu seri satu dan seri dua. Sejauh pengetahuanku, penerbit di Indonesia yang mencetak buku ini ada 2 juga. Yakni Pustaka Amani Jakarta dan penerbit Asy-syifa` Semarang. Untuk penerbit yang dari Semarang harganya lebih murah. Tentu ini berbanding lurus dengan kualitas bukunya. Yang aku beli kemarin adalah buku dari penerbit pustaka amani Jakarta. Terlihat lebih kokoh saja :).

Tarbiyatul Aulad fil Islam Abdullah Nashih Ulwan


Saat ini putriku Hanan sudah berumur satu bulan lebih. Mau jadi apa kelak dia di masa mendatang, adalah bagaimana pola didikan dari kami. Lingkungan seperti apa yang kami sediakan untuk membentuk karakter Hanan. Pola pengasuhan seperti apa yang kami berikan kepada Hanan akan membentuk pribadinya. Pribadi mulia seorang Ali bin Abi Tholib karena hasil didikan Rosulullah SAW, akan sangat berbeda jika dia ternyata diasuh oleh seorang Abu Lahab.

Orang tua kebanyakan sekarang ini hanya mementingkan aspek kecerdasan intelektualnya saja. Mereka cenderung mengabaikan bagaimana kepribadiannya. Parahnya lagi, sebagian orang tua menganggap karakter ini sudah bawaan sejak lahirnya. Orang tua tak bisa mengubahnya. Trus kalau begitu, untuk apa Rosulullah diturunkan dimuka bumi ini dengan membawa mukjizat terbesar yakni AlQuran?.

Karakter anak ini menjadi sangat penting dalam menjalani hari-harinya mendatang, bahkan jauh sampai nanti hasilnya di akherat. Karena anak adalah investasi bagi kita, orang tuanya.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita bisa mendidik anak kita dengan cara terbaik sesuai Islam kalau kita tak paham ilmunya?. Robbi zidni ilma, warzuqni fahma. Ya Allah tambahilah aku ilmu, dan berilah aku kefahaman. Kefahaman memahami bagaimana Nabi-Mu mencontohkan secara gamblang untuk umatnya.

Bismillah. Aku belum membaca buku ini, hanya sebagian pengantarnya saja. Belum bisa berbicara banyak. Semoga aku diberikan kefahaman untuk bisa mengaplikasikan seluruh ilmu di buku ini kepada putriku tercinta Hanan Naqiyya.

powered by :
Toko Buku Hanan

Kamis, 14 Juni 2012

8 Menasehati, Tapi kok Buka Aib?

Suatu ketika saya membuka akun facebook kemudian sedikit membaca status dari beberapa sahabat sambil sesekali menggerakkan cursor mouse.. srutt.. keatas dan ke bawah. Sampai pada akhirnya saya mendapati sebuah status dari seorang teman yang cukup membuat kontroversial. Entahlah, mungkin bagi si pembuat status, merasa tulisannya biasa-biasa saja, tapi bagi pembaca yang lain mungkin ada yang cukup mengganjal di hati dan dengan niat mulia ingin menasehati. Sehingga akhirnya ada seseorang yang menasehatinya dengan memberikan komentar pada status tersebut. Saya pikir, sungguh niat orang ini adalah baik, tapi dengan cara yang menurut saya kurang tepat. Alhasil, alih-alih bukannya pikiran tercerahkan, si pembuat status malah mencoba sekuat tenaga memberikan argumen-argumen balasan. Awalnya debat masih cukup ilmiah, namun lama-kelamaan mulai nyrempet-nyrempet buka aib dan berujung saling tidak respek.

Begitu juga dengan media sosial yang lain semisal twitter. Saya pernah mendapati perdebatan sengit oleh dua orang teman saya. Yang satu merasa statusnya tidak bermasalah, yang satu lagi menganggap status tersebut melanggar norma-norma yang ada. Yang satu tidak ada yang perlu diperbaiki, yang satu merasa orang ini perlu dinasehati. Namun, cara menasehatinya di muka publik ini (karena akan terbaca oleh seluruh follower yang ada) menurutku kurang ahsan. Alhasil, mungkin karena terus ditelanjangi di muka umum, si pembuat status yang awal malah memberikan argumen balasan untuk mempertahankan pendapatnya. Yah.. begitulah akhirnya berujung pada ungkapan yang saling tidak respek. Sekali lagi.. ini adalah sebuah niat mulia tapi diamalkan dengan cara yang kurang ahsan.

Umar bin Khattab, seorang sahabat Nabi yang mulia pun merasa perlu untuk diingatkan dan dinasehati. Ia berkata, "Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aibku". Tapi seni dalam nasehat-menasehati ini yang musti diperhatikan. Alih-alih ingin mencerahkan saudara sesama muslim, malah berujung membuka aibnya, naudzubillah. Mus'ir bin Kidam rahimahullah berkata "Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aibku secara rahasia, antara aku dan dia. Karena mengingatkan di tengah orang banyak itu sama dengan membuka aib".

Budaya saling mengingatkan dan saling menasehati adalah pondasi utama Islam. Namun hendaknya memberikan nasehat itu musti lembut dan tidak melukai. Bahkan ada ulama yang berkata memberikan nasihat itu hendaknya dengan isyarat saja, bukan terus terang.



#Tulisan ini terinspirasi dari sebuah artikel di majalah Tarbawi edisi Mei 2012.

Jumat, 01 Juni 2012

7 Basa-basi Basi, lagi.. Soal Empati

Suatu ketika saya membaca sebuah artikel di Dakwatuna yang dideskripsikan ke dalam cerita pendek. Di dalam cerita itu dikisahkan seorang akhwat yang menghadiri sebuah acara seminar dengan menghadirkan pembicara yang cukup terkenal. Di sela-sela seminar tersebut ada seorang akhwat lain yang secara membabi buta menanyakan kabar kepada sahabat-sahabatnya. "Subhanallah, apa kabar ukh? lama tidak berjumpa, anaknya sudah berapa?. Dan kepada sahabat-sahabat lainnya yang dia jumpai, disapanya dengan kalimat yang serupa dengan itu. Intinya adalah menanyakan kabar dan jumlah anak.

Sampai pada akhirnya disapalah akhwat yang tadi disebutkan di awal, tentu dengan memasang mimik yang cerah dan akrab. Namun, alangkah bingungnya akhwat si penanya tadi dengan sikap dan bahasa tubuh akhwat yang ditanya. "Alhamdulillah kabar baik, belum punya anak!, ah sudahlah jangan tanya itu lagi itu lagi, emang menikah itu buat lomba bikin anak apa?!". Sungguh rasanya langsung 'deg', klo bahasa gaulnya sekarang 'langsung jleb' ke dalam hati si penanya. Sungguh kali ini dia telah salah besar menyusun kalimat dalam menanyakan kabar kepada akhwat yang satu ini. Beberapa kali dia tertegun dan mencoba minta maaf kepada akhwat tadi. Ibarat dalam perang, dia telah gagal total melihat dengan jeli seperti apa medan tempur yang akan dilalui. Keduanya masih saja diam membisu, namun beberapa saat kemudian, akhirnya akhwat yang ditanya tadi pun merekah senyumnya dan memeluk erat si penanya sambil mengatakan: "Ah sudahlah ukh, afwan jiddan, memang saya akhir-akhir ini agak sensitif klo ditanya soal itu". Mereka pun akhirnya bisa kembali bercanda, tentu dengan topik dan bahasan yang lain.

Ketika saya membaca artikel tersebut, sungguh apa yang dirasa di dalam diri akhwat yang ditanya tersebut, jujur selama ini juga saya rasakan. Kadang terselip bisikan jahat di pikiran : 'dasar basa-basi basi'. Ah, namun seiring berjalannya waktu, saya mulai terbiasa dengan kalimat pertanyaan seperti itu (meski rasa bete tetap saja seringkali menggelayuti). Entahlah, aku tidak bisa mengetahui isi hati orang yang bertanya seperti itu, apakah hanya sekedar basa-basi tanpa makna? atau mungkin bisa juga ada doa di dalamnya. Wallahu alam. Yang jelas kalimat tanya seperti itu seringkali menyebabkan seperti ada tusukan sembilu di hati. Ah.. mungkin bagi sebagian orang menganggap saya terlalu sensitif. Hemm mungkin ada benarnya juga :) .


Gambar dari : indablu.wordpress.com

Hanya saja saya sangat kasihan dengan istri saya. Dia seringkali menangis tersedu jika ada teman atau koleganya bertanya mengenai kehamilan dirinya. 'Kok belum hamil juga sih? udah berapa lama nikahnya?'. Pertanyaan seperti ini seperti ratusan panah tajam yang melesat dengan kecepatan tinggi menghujam ke tubuh kami. Dengan berlumuran darah, kami hanya bisa menjawab : 'Belum... ini masih dalam proses, insyaAllah. Mohon doa-nya'. Sungguh ini diluar kuasa kami. Yang memiliki hak mutlak bahwa istri saya hamil dan tidak hamil ada di tangan Allah. Bukan berarti malah dengan sombong mengesampingkan campur tangan Allah dalam hal ini. Salah satu tujuan menikah memang untuk memperoleh anak keturunan dari keluarga kita. Tapi bukan itu satu-satunya tujuan, dijadikan ada istri itu supaya hidup kita lebih tentram.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)


Anak keturunan memang penting, bahkan sangat penting dalam menjaga kerukunan dalam rumah tangga. Tapi bukan berarti dengan dalih itu, kita menjadikannya seperti sistem kebut semalam atau bahkan (naudzubillah) dijadikan bahan perlombaan. Siapa yang punya anak duluan, dialah pemenangnya.

Entahlah, ketika saya menulis postingan ini, sadar saya mengakui ada campur tangan emosi disini. Tapi pesan yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah soal rasa empati. Dan bagi anda yang sudah punya anak keturunan, cobalah belajar soal empati dalam hal ini. Tiada mustahil ada dari sanak saudara anda yang mungkin mengalami cobaan seperti ini. Dan bagi yang belum menikah, cobalah mengkhayal andai nanti anda mungkin saja berada di posisi seperti kami. Tak ada jaminan bahwa setiap pasangan yang menikah akan langsung dikaruniai anak bahkan sebelum 1 tahun pernikahan. Ada tetangga saya 8 tahun baru memiliki anak, subhanallah. Kami saja yang baru 3 tahun mengalami, sudah cukup berat dengan cobaan seperti ini, bagaimana dengan mereka yang duiji 8 tahun?. Atau bagi mereka yang bahkan ditakdirkan tidak memiliki keturunan?.

Pernah juga ada prasangka jelek terhadap Allah, tapi kami selalu berusaha menghilangkannya. Kami yakin : Setiap apa yang terjadi pada hamba, maka itu adalah kondisi terbaiknya. Disini saya hanya menekankan soal empati dari kita sesama hamba. Bukan mempersoalkan hak prerogatif Allah azza wa jalla.

Mungkin diantara kalian ada yang pengen bilang : 'Ah.. yang sabar aja fin napa!, gitu aja kok sensitif?' . Ha ha.. ya karena anda belum pernah merasakannya :) . Sabar itu mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Masak sih? he he coba aja rasakan sendiri!. Tapi saya tidak berharap yang jelek dari kawan-kawan semua :). Saya hanya berdoa yang terbaik buat kita semua dan mencoba mengenalkan rasa empati terhadap hal ini lebih dini. Harapan saya, biarlah kami yang terakhir merasakan soal basa-basi basi ini :).

Jumat, 20 April 2012

4 Menghindari Orang Dengki

Suatu ketika saya pernah menulis tentang sebuah tema karakter dalam tulisan 'Karakter Api vs Api'. Dalam tulisan tersebut, saya mengungkapkan salah satu trik jika kita bertemu dengan orang yang memiliki karakter berlawanan dengan kita. Ketika ada orang yang seringkali setiap perkataannya membuat kuping kita panas, maka lebih baik kita menghindarinya. Menurut saya, cara itu cukup efektif meredam konfrontasi yang mungkin saja berujung kepada mudharat yang lebih besar lagi. Lebih baik kita bergaul dengan orang yang sudah jelas baik akhlaknya. Tidak suka merendahkan, dan tidak suka berkata tentang hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Kadang saya berpikir, apa iya orang yang sering merendahkan kita itu karena dia memiliki sifat dengki?

Pagi ini saya kembali membuka buku Laa Tahzan karangan Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni. Saya akan mencuplik beberapa resep untuk menghindari orang yang memiliki sifat dengki.

1. Sering membaca surat Mu'awwidzatain (surat An-Naas dan Al-Falaq) berikut dzikir dan doa yang berkaitan.
dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki (QS 113 : 5)

2. Menyembunyikan urusan kita dari orang yang dengki hatinya.

3. Menjauh dari orang-orang yang dengki.
Jika kamu (Fir'aun dan pengikutnya) tidak mau beriman kepadaku (Musa), maka janganlah kamu menggangguku. (QS 44:21).

4. Berbaiklah kepadanya untuk menghindari gangguannya.
"Tolaklah (perbuatan buruk) dengan perbuatan yang lebih baik". (QS 23:96).

Khusus pada poin 4 diatas, mungkin terlihat sangat sulit melakukannya. Bagaimana bisa kita berbuat baik kepada orang yang kerjaannya mengganggu kita?. Tapi sikap seperti ini rupanya ada dalam firman Allah dalam AlQuran dan tentu terlihat pula dalam keseharian Rosulullah.

Bagi saya, menghindari secara fisik dengan orang dengki terbukti cukup efektif. Bukankah berbuat baik tidak mesti selalu harus sering bertemu dengannya?.

Rabu, 11 April 2012

5 Empati Itu Soal Rasa

"Jangan dihabiskan airnya, bagikan secara rata kepada seluruh teman kalian!"

Dengan menyeringai galak, kakak-kakak yang lebih senior itu menyuruh kami untuk jangan menghabiskan air minum yang dibagikan kepada kami. Kami harus menyisakan air yang hanya seliter air botol kemasan itu kepada puluhan rekan-rekan kami yang sedang kehausan. Yah.. beginilah suasana pengkaderan/ospek jurusan mahasiswa teknik tempat saya menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Keadaan dibuat semenderita mungkin, untuk memunculkan efek empati. Sebelumnya, kami disuruh berlari memutari kampus yang jaraknya lumayan jauh. Panas mentari pagi membuat peluh mengalir deras membasahi badan kami. Belum lagi kami juga harus meneriakkan yel-yel khas jurusan yang semakin membuat kerongkongan kami terasa kering. Namun hal ironi terjadi, kakak-kakak senior malah ada yang asik menaiki sepeda motor bercanda dengan santainya. Sesekali mereka meneriaki kami yang kepayahan.

"Jangan dihabiskan, ada diantara temanmu yang belum minum, dimana empati kalian!!".


Tentang Empati


Waktu itu yang terpikir dalam diri ini hanya kenapa tidak dibelikan saja air minum yang banyak sekalian, sehingga kami bisa minum sewajarnya. Namun lagi-lagi dalihnya adalah niat mendidik kami belajar soal empati. Ah empati, makanan apa itu?. Ah sok belajar empati, bagaimana kami bisa mempelajarinya tapi pada saat yang sama, kalian para senior dengan tanpa malu menenteng dan meminum air botol kemasan itu sepuasnya. Kalau kami diijinkan sedikit bertanya, "Wahai senior, kalian mengajari kami soal empati, tapi dimana empati kalian ketika dengan tidak malu, kalian seenaknya meminum air botol melimpah itu sepuasnya!".

Hal senada terjadi beberapa hari kemarin. Ketika saya hendak pulang ke kampung halaman menggunakan jasa kereta api. Saat itu saya membuka lembaran tiket yang sudah ada digenggaman. Tertulis posisi kursi adalah 6B, artinya duduk saya berada di tengah (tidak berada di dekat jendela yang sering menjadi posisi favorit saya). Pada posisi ini, sebenarnya tidak terlalu bermasalah bagi saya, biasa saja. Tapi akan menjadi tidak biasa, ketika kursi di depan saya diputar 180 derajat sehingga posisi menjadi berhadap-hadapan dengan kursi tempat saya duduk. Sungguh sangat tidak nyaman. Adalah orang yang ada di sebelah saya yang tidak punya empati membuat saya menjadi salah tingkah. Mana dihadapan saya ini seorang wanita lagi. Memang mereka yang ada di depan saya adalah anggota keluarga dari orang yang ada di sebelah saya. Normal jika mereka ingin asik ngobrol, tapi ini loh ada saya!. Emang saya patung!. Saya merasa seperti tamu di tempat duduk saya sendiri. Tamu utusan di wilayah 'kekuasaan' saya sendiri. Lagi-lagi ini bicara tentang rasa.

Nah pada kondisi seperti ini, rasa empati harus di tempatkan pada posisinya. Harus ada prinsip kesetaraan, jangan sampai ada ungkapan 'enak di kamu, ndak enak di saya!'. Entahlah, mungkin tiap orang memiliki kadar empati yang berbeda-beda, karena empati itu soal rasa.

Rabu, 15 Februari 2012

9 Karakter : Api vs Api

Pernahkah kawan bertemu dengan orang yang setiap perkataannya selalu menyakiti hati kita. Setiap apa yang keluar dari mulutnya selalu membuat kuping kita panas. Ingin rasanya kita membalas cemoohan mereka dengan cemoohan yang lebih menyakitkan lagi. Namun kita akan berpikir lagi, "trus apa bedanya kita dengan mereka?". Pernahkan bertemu dengan orang-orang seperti itu kawan?. Orang yang setiap apa yang keluar dari mulutnya terasa menusuk-nusuk hati dan seringkali merendahkan.

Saya pribadi pernah atau kadang bertemu dengan tipe orang seperti ini. Entahlah, mungkin betul juga apa yang sering dikatakan orang jawa bahwa "geni ojo dilawan karo geni" yang artinya api jangan dilawan dengan api. Karakter yang senantiasa berlawanan, tidak pernah bisa klop. Setiap yang dikatakan orang itu sering kali membuat saya sakit hati dan terkadang malah emosi. Namun selama ini saya lebih sering memilih menghindar dari tipe orang seperti itu. Yah.. menghindar, hanya itu yang bisa saya lakukan. Sebisa mungkin saya akan menghindar dari berbincang-bincang dan berinteraksi dengannya walaupun secara fisik dia mungkin dekat.

Tiga hari ini saya pulang ke kampung halaman di Magetan untuk bertemu dengan keluarga tercinta (menjadi alasan juga kenapa blog saya terbengkalai selama 3 hari ini) . Iseng-iseng saya memilah-milah buku yang ada di lemari tempat istri menyimpan koleksi buku-bukunya yang berjubel. Saya kemudian menemukan buku berjudul "Laa Tahzan" karya Dr. 'Aidh bin Abdullah Al-Qarni. Kalimat yang ada di halaman 53 buku itu sangat menggambarkan dengan tema yang saya tulis ini.

Sesungguhnya anda tidak akan mampu membungkam mulut mereka dan tidak pula mampu mengekang lisan mereka untuk diam. Akan tetapi, anda mempunyai kemampuan untuk mengubur kritikan mereka, membalas sikap mereka dengan menjauh dari mereka, tidak memperhatikan sepak terjang mereka, dan tidak mengindahkan ocehan mereka.





-fifin-
15 Februari 2012
Bandung

Rabu, 16 Februari 2011

2 Menahan Marah


Saya teringat bagaimana saya seringkali tersulut emosi jika ada orang-orang yang berada di sekitar saya melakukan kesalahan atau mungkin dengan sengaja menghina dan mengejek saya secara pribadi. Marah, seringkali tidak bisa saya kontrol dengan baik. Ego, sombong dan harga diri seringkali menjadi tumbal alasan untuk membiarkan diri ini terkungkung dan dikuasai sepenuhnya oleh keadaan marah tersebut. Bahkan seringkali saya merasa 'menang dan puas' jika sudah melampiaskan kemarahan saya itu kepada orang lain. Sebenarnya sikap marah ini akan timbul karena kita sudah berinteraksi dengan orang lain. Berinteraksi dengan orang-orang yang berada dekat di sisi kita, namanya bergaul ada saja kejadian yang seringkali memicu sikap marah. Saya masih ingat bagaimana saya seringkali bertengkar dengan kakak perempuan saya. Namanya kakak perempuan seringkali mengatur saya ini itu sok dewasa dan akhirnya tak jarang membuat saya jengkel dan akhirnya marah. Tapi begitulah hidup bersaudara, marah dan sayang akan selalu ada dalam setiap aktifitas pergaulan. Jika kita tidak pernah merasa marah kepada orang lain, berarti kita belum dekat dengan orang tersebut. Meskipun begitu, marah yang tidak pada porsinya dan berlebihan tetaplah sesuatu yang negatif, dan harus kita kontrol.


Saya mencoba membuat tulisan tentang 'marah' ini sebagai introspeksi dan tanggung jawab moral diri saya supaya nanti di masa yang akan datang dapat menahan 'marah berlebihan' dengan melihat kembali tulisan saya ini. Pernah suatu ketika salah seorang teman berbuat salah kepada saya (atau lebih tepatnya salah paham), saking marahnya kepada teman saya itu (karena sudah menjelekkan dan merendahkan martabat saya) akhirnya saya marah kepadanya cukup lama berhari-hari. Padahal ketika itu saya juga sangat paham bahwa marah itu datangnya dari syetan dan akan menutup semua akal dan pikiran saya pada akhirnya juga akan menimbulkan perkara-perkara yang tidak diridhoi oleh Allah ta'ala.



Sikap marah adalah manusiawi, tapi kita juga harus bisa membedakan mana marah yang menutup akal pikiran kita dan mana marah yang masih bisa kita kontrol, mana marah karena harga diri ini ternodai dan mana marah karena melihat dan mendengar sesuatu yang dibenci oleh Allah. Apabila kita telah mengetahui dan meyakini keutamaan mengendalikan marah, maka akan muncul keinginan untuk meraih pahala yang disedikan oleh Allah SWT. Pernah dikisahkan seorang sahabat Rosulullah yaitu Umar bin Khattab ra yang diceritakan oleh Malik bin Aus bin Hassan. Malik menceritakan bahwa Umar ra pernah marah kepada seorang laki-laki dan memerintahkan agar lelaki itu dipukul, kemudian ia (Malik) membacakan kepadanya surat A'raaf:199, “Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang berbuat yang ma'ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. Kemudian Umar ra terdiam lalu memaafkan laki-laki itu dan tidak jadi melampiaskan kemarahannya.

Rosulullah sudah mengingatkan dari sifat marah yang tidak pada tempatnya, sebagaimana beliau bersabda kepada seseorang sahabat yang meminta nasehat : “Janganlah kamu marah”, dan beliau mengulanginya sampai beberapa kali “Janganlah kamu marah” (HR. Bukhari).

Langkah-langkah menghindari marah :
1. Hindari marah dalam keadaan berdiri, upayakan untuk duduk. Jika gejolak marah masih besar hendaknya berbaring, lebih baik lagi jika mendekatkan muka ke tanah bersujud ke hadirat Allah SWT. Abu Hurairah menjelaskan apabila Rosulullah SAW marah dalam keadaan berdiri maka beliau duduk, apabila marahnya dalam keadaan duduk maka beliau berbaring dan marahnya pun menjadi hilang. Rosulullah SAW bersabda :

Jika kamu marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, jika kamu dalam keadaan duduk maka bersandar, jika kamu dalam keadaan bersandar maka berbaring”


Rosulullah SAW juga bersabda :
Ketahuilah sesungguhnya marah adalah bara dalam hati manusia anak adam, tidaklah kau ketahui matanya merah dan membengkak dan apabila dalam keadaan tersebut hendaknya menempelkan pipinya ke tanah, sujud meletakkan dahi ke tanah hal ini mengisyaratkan ketawadhu'an.

2. Dianjurkan berwudhu
Apabila diantara kalian marah hendaklah berwudhu dengan air karena marah dari api” (HR. Abu Dawud)

3. Mengingat dan mengagungkan Allah SWT
Di dalam hadist yang shahih Rosulullah juga bersabda :
Bukanlah dikatakan seseorang yang kuat itu dengan bergulat, akan tetapi orang yang kuat dalam menahan dirinya dari marah”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Tapi pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita tidak boleh marah?
Rosulullah SAW tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat dan mendengar sesuatu yang dibenci oleh Allah, maka beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara. Ketika Nabi SAW melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada kiamat adalah orang yang membuat gambar seperti gambar ini.” (HR. Bukhari Muslim)

Tapi meski begitu orang yang tidak pernah marah juga sebenarnya kurang bagus juga, karena menandakan dia itu lemah dari melatih diri. Syeikh Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya' Ulumuddin mengatakan , “Barangsiapa tidak marah, maka ia lemah dari melatih diri. Yang baik adalah, mereka yang marah namun bisa menahan dirinya” 
Wallahualam.

*referensi dari berbagai sumber.
 

Inspirasi Coffee Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates